Di masa lalu yang bergelimang air, pemburu, petani, bahkan gajah hidup di sini.
Angin purba bertiup dari sebuah tempat yang disebut masa lalu. Dalam benak kita, Gurun Sahara adalah neraka abadi berisi bukit-bukit pasir berpayung langit biru. Kita mengagumi panoramanya, tetapi tidak menghargai gurun tersebut sebagai salah satu lokasi penyimpan sejarah nan akbar di Bumi. Masa lalu masih terekam di sini dan bercerita melalui pasir, batu, panas, dan angin kering. Masa lalu berbisik kepada kita tentang sejarah perubahan iklim serta maju-mundurnya peradaban yang berulang kali menyentak.
Di Libya barat daya, ada sebuah kawasan bernama Fezzan yang menjadi jantung kehidupan Sahara. Fezzan tak bisa dicapai, dipenuhi lautan pasir, aliran anak-anak sungai, pegunungan, dataran tinggi, oase, dan misteri. Antara tahun 500 SM dan 500 Masehi, diperkirakan 100.000 orang bertani dan berkembang di sini, di sebuah areal yang hanya menerima paling banyak beberapa sentimeter curah hujan dalam setahun di samping tak sedikit tahun yang dilewati tanpa setetes hujan pun.
Inilah Sahara yang menakutkan. Lautan pasir dan batu yang tanpa air, dipenuhi kalajengking, dirayapi ular berbisa, dengan Matahari yang tak kenal ampun. Libya sangatlah luas—loyang panas seluas Italia, Prancis, Spanyol, dan Jerman menjadi satu—dan hampir seluruh dari enam juta penduduknya hidup berdesak-desakan di pesisir Mediterania. Untuk benar-benar memahami kawasan tersebut, kita harus memunggungi laut dan melihat ke arah selatan. Sembilan puluh lima persen wilayah Libya adalah gurun pasir, 20 persen perbukitan pasir, dan tidak satu pun sungai yang mengalir sepanjang tahun di negeri itu. Bagian Sahara di Libya mencatat rekor suhu terpanas di dunia (57,8 derajat Celsius) dan udara malam mampu menggigilkan tulang.
Kawasan Fezzan mengungkap fakta tentang perjuangan hidup melawan perubahan selama ribuan tahun, tentang upaya manusia beradaptasi dengan lingkungan yang tidak ramah. Kawasan tersebut bagaikan mesin waktu di mana sejarah mengejutkan kita dan jika kita menjelajahinya lebih jauh, akan muncul hal-hal baru yang menguji pengetahuan kita sebelumnya.
Manusia modern paling awal yang menghuni tempat tersebut adalah pemburu dan peramu yang tinggal di lanskap sabana kurang lebih 130.000 tahun yang lalu. Masyarakat tersebut mengungsi ketika curah hujan menyusut kurang lebih 70.000 tahun yang lalu, tetapi ketika curah hujan kembali meningkat, manusia pun kembali menghuni lokasi tersebut. Proses migrasi bolak-balik tersebut dinamakan mesin pompa Sahara, pergerakan manusia yang keluar-masuk wilayah Afrika utara seiring perubahan iklim. Tergurat di bebatuan gurun pasir, adalah memori tentang Sahara yang lebih basah ketika makhluk-makhluk yang bergantung pada keberadaan air seperti halnya singa, gajah, dan badak pernah tinggal di sini.
Batu-batuan gelap dan terang yang dipilih secara
hati-hati menandai kuburan terpencil seorang penggembala yang meninggal dunia antara 5.000 hingga 3.000 tahun yang lalu. Seiring menurunnya curah hujan, penghuni Fezzan menetap di sekitar oase yang tersebar.
Pasir yang ditiup angin kencang berhasil mengukir sebuah lengkungan di Pegunungan Akakus. Iklim yang mengering memaksa masyarakat purba untuk mengungsi, meninggalkan keindahan Fezzan yang terpanggang Matahari, sepi di bawah naungan langit gurun.
Terdorong maju mundur oleh angin yang bertiup silih berganti, bukit-bukit pasir yang berombak di Lautan Pasir Murzuq seringkali berakhir di tempat yang sama dari tahun ke tahun. Kalifah-kalifah pada zaman pertengahan pernah menyisiri bukit-bukit ini untuk menyeberangi Sahara.
Kecelakaan lalu lintas jarang terjadi, namun papan-papan iklan raksasa yang menampilkan pemimpin Libya Muammar Qaddafi tersebar di mana-mana di kota utama kawasan Fezzan, Sabha, di mana curah hujan hanya turun rata-rata sepuluh milimeter per tahun. Di luar wilayah Sabha dan sekumpulan kota lainnya terbentang Sahara yang tak punya jalur jalan.
Tercatat dalam goresan batu di Wadi Matkandush 5.000 tahun yang lalu, pada masa sebelum curah hujan berhenti turun dan kawasan Fezzan berubah gersang, kucing-kucing liar yang bertarung kemungkinan telah membangunkan kekuatan dahsyat karnivora yang diburu manusia di kawasan tersebut.
Pohon-pohon kurma dan alang-alang buluh yang hidup dari persediaan air tanah, tumbuh mengelilingi pinggiran Umm al Maa, salah satu dari selusin kolam berkandungan garam di Lautan Pasir Ubari—bekas peninggalan Danau Megafezzan yang kuno.
Walaupun setengah tertimbun di dalam bukit pasir, puncak-puncak batuan pasir masih lebih tinggi dibandingkan sebuah truk (kanan bawah) di Maridet. Dahulu kala, di Sahara yang hijau, curah hujan tropis melarutkan bebatuan di sekitarnya, turut membentuk bukit-bukit tajam.
Di jantung Sahara, air hujan yang turun beribu-ribu tahun lalu tertampung di kawah vulkanik Waw dan Namus. Angin membawa abu hitam dari letusan gunung terakhir hingga sejauh 20 kilometer melintasi gurun.
sumber :: http://world.quisys.com/index.php?option=com_content&view=article&id=269:sahara-yang-tak-kasat-mata&catid=47:sejarah&Itemid=79
Comments :
0 komentar to “Sahara yang Tak Kasat Mata”
Posting Komentar